Senin, 06 Desember 2010

bag.II BAGAIMANA PENJELASAN TENTANG BID'AH.??

I. Nabi saw
memperbolehkan
berbuat bid ’ah hasanah.
Nabi saw
memperbolehkan kita
melakukan Bid ’ah
hasanah selama hal itu
baik dan tidak
menentang syariah,
sebagaimana sabda
beliau saw: “Barangsiapa
membuat buat hal baru
yang baik dalam islam,
maka baginya pahalanya
dan pahala orang yang
mengikutinya dan tak
berkurang sedikitpun
dari pahalanya, dan
barangsiapa membuat-
buat hal baru yg buruk
dalam islam, maka
baginya dosanya dan
dosa orang yg
mengikutinya dan tak
dikurangkan sedikitpun
dari dosanya ” (Shahih
Muslim hadits no.1017,
demikian pula
diriwayatkan pada
Shahih Ibn Khuzaimah,
Sunan Baihaqi Alkubra,
Sunan Addarimiy, Shahih
Ibn Hibban dan banyak
lagi). Hadits ini
menjelaskan makna
Bid ’ah hasanah dan
Bid'ah dhalalah.
Perhatikan hadits beliau
saw, bukankah beliau
saw menganjurkan?,
maksudnya bila kalian
mempunyai suatu
pendapat atau gagasan
baru yg membuat
kebaikan atas islam
maka perbuatlah..,
alangkah indahnya
bimbingan Nabi saw yg
tidak mencekik ummat,
beliau saw tahu bahwa
ummatnya bukan hidup
untuk 10 atau 100 tahun,
tapi ribuan tahun akan
berlanjut dan akan
muncul kemajuan zaman,
modernisasi, kematian
ulama, merajalela
kemaksiatan, maka
tentunya pastilah
diperlukan hal-hal yg
baru demi menjaga
muslimin lebih terjaga
dalam kemuliaan,
demikianlah bentuk
kesempurnaan agama
ini, yg tetap akan bisa
dipakai hingga akhir
zaman, inilah makna
ayat : “ALYAUMA
AKMALTU LAKUM
DIINUKUM..dst, “hari ini
Kusempurnakan untuk
kalian agama kalian,
kusempurnakan pula
kenikmatan bagi kalian,
dan kuridhoi islam
sebagai agama kalian ”,
maksudnya semua ajaran
telah sempurna, tak
perlu lagi ada pendapat
lain demi memperbaiki
agama ini, semua hal yg
baru selama itu baik
sudah masuk dalam
kategori syariah dan
sudah direstui oleh Allah
dan rasul Nya, alangkah
sempurnanya islam.
Namun tentunya bukan
membuat agama baru
atau syariat baru yg
bertentangan dengan
syariah dan sunnah Rasul
saw, atau menghalalkan
apa-apa yg sudah
diharamkan oleh Rasul
saw atau sebaliknya,
inilah makna hadits
beliau saw :
“ Barangsiapa yg
membuat buat hal baru
yg berupa
keburukan...dst ”, inilah
yg disebut Bid’ah
Dhalalah. Beliau saw
telah memahami itu
semua, bahwa kelak
zaman akan
berkembang, maka
beliau saw
memperbolehkannya (hal
yg baru berupa
kebaikan),
menganjurkannya dan
menyemangati kita
untuk memperbuatnya,
agar ummat tidak
tercekik dengan hal yg
ada dizaman kehidupan
beliau saw saja, dan
beliau saw telah pula
mengingatkan agar
jangan membuat buat
hal yg buruk (Bid ’ah
dhalalah).
Mengenai pendapat yg
mengatakan bahwa
hadits ini adalah khusus
untuk sedekah saja,
maka tentu ini adalah
pendapat mereka yg
dangkal dalam
pemahaman syariah,
karena hadits diatas
jelas-jelas tak
menyebutkan
pembatasan hanya untuk
sedekah saja, terbukti
dengan perbuatan bid ’ah
hasanah oleh para
Sahabat dan Tabi ’in.
II. Siapakah yg pertama
memulai Bid ’ah hasanah
setelah wafatnya Rasul
saw?
Ketika terjadi
pembunuhan besar-
besaran atas para
sahabat (Ahlul
yamaamah) yg mereka
itu para Huffadh (yg
hafal) Alqur ’an dan Ahli
Alqur’an di zaman
Khalifah Abubakar
Asshiddiq ra, berkata
Abubakar Ashiddiq ra
kepada Zeyd bin Tsabit
ra : “Sungguh Umar (ra)
telah datang kepadaku
dan melaporkan
pembunuhan atas
ahlulyamaamah dan
ditakutkan pembunuhan
akan terus terjadi pada
para Ahlulqur’an, lalu ia
menyarankan agar Aku
(Abubakar Asshiddiq ra)
mengumpulkan dan
menulis Alqur ’an, aku
berkata : Bagaimana aku
berbuat suatu hal yg
tidak diperbuat oleh
Rasulullah..??, maka
Umar berkata padaku
bahwa Demi Allah ini
adalah demi kebaikan
dan merupakan
kebaikan, dan ia terus
meyakinkanku sampai
Allah menjernihkan
dadaku dan aku setuju
dan kini aku sependapat
dengan Umar, dan
engkau (zeyd) adalah
pemuda, cerdas, dan
kami tak menuduhmu
(kau tak pernah berbuat
jahat), kau telah
mencatat wahyu, dan
sekarang ikutilah dan
kumpulkanlah Alqur ’an
dan tulislah Alqur’an..!”
berkata Zeyd : “Demi
Allah sungguh bagiku
diperintah memindahkan
sebuah gunung daripada
gunung-gunung tidak
seberat perintahmu
padaku untuk
mengumpulkan Alqur’an,
bagaimana kalian berdua
berbuat sesuatu yg tak
diperbuat oleh Rasulullah
saw ??”, maka Abubakar
ra mengatakannya
bahwa hal itu adalah
kebaikan, hingga iapun
meyakinkanku sampai
Allah menjernihkan
dadaku dan aku setuju
dan kini aku sependapat
dengan mereka berdua
dan aku mulai
mengumpulkan
Alqur ’an”. (Shahih
Bukhari hadits no.4402
dan 6768).
Nah saudaraku, bila kita
perhatikan konteks
diatas Abubakar shiddiq
ra mengakui dengan
ucapannya : “sampai
Allah menjernihkan
dadaku dan aku setuju
dan kini aku sependapat
dengan Umar ”, hatinya
jernih menerima hal yg
baru (bid ’ah hasanah)
yaitu mengumpulkan
Alqur ’an, karena
sebelumnya alqur’an
belum dikumpulkan
menjadi satu buku, tapi
terpisah-pisah di hafalan
sahabat, ada yg tertulis
di kulit onta, di tembok,
dihafal dll, ini adalah
Bid’ah hasanah, justru
mereka berdualah yg
memulainya.
Kita perhatikan hadits yg
dijadikan dalil menafikan
(menghilangkan) Bid ’ah
hasanah mengenai
semua bid ’ah adalah
kesesatan, diriwayatkan
bahwa Rasul saw selepas
melakukan shalat subuh
beliau saw menghadap
kami dan menyampaikan
ceramah yg membuat
hati berguncang, dan
membuat airmata
mengalir.., maka kami
berkata : “Wahai
Rasulullah.. seakan-akan
ini adalah wasiat untuk
perpisahan …, maka beri
wasiatlah kami..” maka
rasul saw bersabda :
“ Kuwasiatkan kalian
untuk bertakwa kepada
Allah, mendengarkan dan
taatlah walaupun kalian
dipimpin oleh seorang
Budak afrika, sungguh
diantara kalian yg
berumur panjang akan
melihat sangat banyak
ikhtilaf perbedaan
pendapat, maka
berpegang teguhlah
pada sunnahku dan
sunnah
khulafa ’urrasyidin yg
mereka itu pembawa
petunjuk, gigitlah kuat
kuat dengan geraham
kalian (suatu kiasan
untuk kesungguhan), dan
hati-hatilah dengan hal-
hal yg baru, sungguh
semua yg Bid'ah itu
adalah kesesatan ”.
(Mustadrak
Alasshahihain hadits
no.329).
Jelaslah bahwa Rasul saw
menjelaskan pada kita
untuk mengikuti sunnah
beliau dan sunnah
khulafa ’urrasyidin, dan
sunnah beliau saw telah
memperbolehkan hal yg
baru selama itu baik dan
tak melanggar syariah,
dan sunnah
khulafa ’urrasyidin adalah
anda lihat sendiri
bagaimana Abubakar
shiddiq ra dan Umar bin
Khattab ra menyetujui
bahkan menganjurkan,
bahkan memerintahkan
hal yg baru, yg tidak
dilakukan oleh Rasul saw
yaitu pembukuan
Alqur ’an, lalu pula selesai
penulisannya dimasa
Khalifah Utsman bin
Affan ra, dengan
persetujuan dan
kehadiran Ali bin Abi
Thalib kw.
Nah.. sempurnalah sudah
keempat makhluk
termulia di ummat ini,
khulafa ’urrasyidin
melakukan bid’ah
hasanah, Abubakar
shiddiq ra dimasa
kekhalifahannya
memerintahkan
pengumpulan Alqur’an,
lalu kemudian Umar bin
Khattab ra pula dimasa
kekhalifahannya
memerintahkan tarawih
berjamaah dan seraya
berkata : “Inilah sebaik-
baik Bid’ah!”(Shahih
Bukhari hadits no.1906)
lalu pula selesai
penulisan Alqur ’an
dimasa Khalifah Utsman
bin Affan ra hingga
Alqur ’an kini dikenal
dengan nama Mushaf
Utsmaniy, dan Ali bin Abi
Thalib kw menghadiri
dan menyetujui hal itu.
Demikian pula hal yg
dibuat-buat tanpa
perintah Rasul saw
adalah dua kali adzan di
Shalat Jumat, tidak
pernah dilakukan dimasa
Rasul saw, tidak dimasa
Khalifah Abubakar
shiddiq ra, tidak pula
dimasa Umar bin khattab
ra dan baru dilakukan
dimasa Utsman bn Affan
ra, dan diteruskan
hingga kini (Shahih
Bulkhari hadits no.873).
Siapakah yg salah dan
tertuduh?, siapakah yg
lebih mengerti larangan
Bid ’ah?, adakah
pendapat mengatakan
bahwa keempat
Khulafa ’urrasyidin ini tak
faham makna Bid’ah?
III. Bid’ah Dhalalah
Jelaslah sudah bahwa
mereka yg menolak
bid ’ah hasanah inilah yg
termasuk pada golongan
Bid ’ah dhalalah, dan
Bid’ah dhalalah ini
banyak jenisnya, seperti
penafikan sunnah,
penolakan ucapan
sahabat, penolakan
pendapat
Khulafa ’urrasyidin, nah…
diantaranya adalah
penolakan atas hal baru
selama itu baik dan tak
melanggar syariah,
karena hal ini sudah
diperbolehkan oleh Rasul
saw dan dilakukan oleh
Khulafa ’urrasyidin, dan
Rasul saw telah jelas-
jelas memberitahukan
bahwa akan muncul
banyak ikhtilaf,
berpeganglah pada
Sunnahku dan Sunnah
Khulafa’urrasyidin,
bagaimana Sunnah Rasul
saw?, beliau saw
membolehkan Bid ’ah
hasanah, bagaimana
sunnah
Khulafa ’urrasyidin?,
mereka melakukan
Bid ’ah hasanah, maka
penolakan atas hal inilah
yg merupakan Bid ’ah
dhalalah, hal yg telah
diperingatkan oleh Rasul
saw.
Bila kita menafikan
(meniadakan) adanya
Bid ’ah hasanah, maka
kita telah menafikan dan
membid ’ahkan Kitab Al-
Quran dan Kitab Hadits
yang menjadi panduan
ajaran pokok Agama
Islam karena kedua kitab
tersebut (Al-Quran dan
Hadits) tidak ada
perintah Rasulullah saw
untuk membukukannya
dalam satu kitab masing-
masing, melainkan hal
itu merupakan ijma/
kesepakatan pendapat
para Sahabat
Radhiyallahu ’anhum dan
hal ini dilakukan setelah
Rasulullah saw wafat.
Buku hadits seperti
Shahih Bukhari, shahih
Muslim dll inipun tak
pernah ada perintah
Rasul saw untuk
membukukannya, tak
pula Khulafa ’urrasyidin
memerintahkan
menulisnya, namun para
tabi ’in mulai menulis
hadits Rasul saw. Begitu
pula Ilmu
Musthalahulhadits,
Nahwu, sharaf, dan lain-
lain sehingga kita dapat
memahami kedudukan
derajat hadits, ini semua
adalah perbuatan Bid ’ah
namun Bid’ah Hasanah.
Demikian pula ucapan
“ Radhiyallahu’anhu” atas
sahabat, tidak pernah
diajarkan oleh Rasulullah
saw, tidak pula oleh
sahabat, walaupun itu di
sebut dalam Al-Quran
bahwa mereka para
sahabat itu diridhoi
Allah, namun tak ada
dalam Ayat atau hadits
Rasul saw
memerintahkan untuk
mengucapkan ucapan itu
untuk sahabatnya,
namun karena kecintaan
para Tabi ’in pada
Sahabat, maka mereka
menambahinya dengan
ucapan tersebut. Dan ini
merupakan Bid ’ah
Hasanah dengan dalil
Hadits di atas, Lalu
muncul pula kini Al-
Quran yang di kasetkan,
di CD kan, Program Al-
Quran di handphone, Al-
Quran yang
diterjemahkan, ini semua
adalah Bid ’ah hasanah.
Bid’ah yang baik yang
berfaedah dan untuk
tujuan kemaslahatan
muslimin, karena dengan
adanya Bid ’ah hasanah di
atas maka semakin
mudah bagi kita untuk
mempelajari Al-Quran,
untuk selalu membaca
Al-Quran, bahkan untuk
menghafal Al-Quran dan
tidak ada yang
memungkirinya.
Sekarang kalau kita
menarik mundur
kebelakang sejarah
Islam, bila Al-Quran tidak
dibukukan oleh para
Sahabat ra, apa
sekiranya yang terjadi
pada perkembangan
sejarah Islam ? Al-Quran
masih bertebaran di
tembok-tembok, di kulit
onta, hafalan para
Sahabat ra yang hanya
sebagian dituliskan,
maka akan muncul
beribu-ribu Versi Al-
Quran di zaman
sekarang, karena semua
orang akan
mengumpulkan dan
membukukannya, yang
masing-masing dengan
riwayatnya sendiri, maka
hancurlah Al-Quran dan
hancurlah Islam. Namun
dengan adanya Bid ’ah
Hasanah, sekarang kita
masih mengenal Al-
Quran secara utuh dan
dengan adanya Bid ’ah
Hasanah ini pula kita
masih mengenal Hadits-
hadits Rasulullah saw,
maka jadilah Islam ini
kokoh dan Abadi, jelaslah
sudah sabda Rasul saw
yg
telah membolehkannya,
beliau saw telah
mengetahui dengan jelas
bahwa hal hal baru yg
berupa kebaikan (Bid ’ah
hasanah), mesti
dimunculkan kelak, dan
beliau saw telah
melarang hal-hal baru yg
berupa keburukan
(Bid ’ah dhalalah).
Saudara-saudaraku,
jernihkan hatimu
menerima ini semua,
ingatlah ucapan
Amirulmukminin pertama
ini, ketahuilah ucapan
ucapannya adalah
Mutiara Alqur ’an, sosok
agung Abubakar Ashiddiq
ra berkata mengenai
Bid ’ah hasanah : “sampai
Allah menjernihkan
dadaku dan aku setuju
dan kini aku sependapat
dengan Umar ”.
Lalu berkata pula Zeyd
bin haritsah
ra : ”..bagaimana kalian
berdua (Abubakar dan
Umar) berbuat sesuatu
yg tak diperbuat oleh
Rasulullah saw??, maka
Abubakar ra
mengatakannya bahwa
hal itu adalah kebaikan,
hingga iapun(Abubakar
ra) meyakinkanku (Zeyd)
sampai Allah
menjernihkan dadaku
dan aku setuju dan kini
aku sependapat dengan
mereka berdua ”.
Maka kuhimbau saudara-
saudaraku muslimin yg
kumuliakan, hati yg
jernih menerima hal-hal
baru yg baik adalah hati
yg sehati dengan
Abubakar shiddiq ra, hati
Umar bin Khattab ra,
hati Zeyd bin haritsah ra,
hati para sahabat, yaitu
hati yg dijernihkan Allah
swt, Dan curigalah pada
dirimu bila kau temukan
dirimu mengingkari hal
ini, maka barangkali
hatimu belum
dijernihkan Allah, karena
tak mau sependapat
dengan mereka, belum
setuju dengan pendapat
mereka, masih menolak
bid ’ah hasanah, dan
Rasul saw sudah
mengingatkanmu bahwa
akan terjadi banyak
ikhtilaf, dan peganglah
perbuatanku dan
perbuatan
khulafa’urrasyidin, gigit
dengan geraham yg
maksudnya berpeganglah
erat-erat pada
tuntunanku dan
tuntunan mereka.
Allah menjernihkan
sanubariku dan sanubari
kalian hingga sehati dan
sependapat dengan
Abubakar Asshiddiq ra,
Umar bin Khattab ra,
Utsman bin Affan ra, Ali
bin Abi Thalib kw dan
seluruh sahabat.. amiin.
IV. Pendapat para Imam
dan Muhadditsin
mengenai Bid ’ah
1. Al Hafidh Al Muhaddits
Al Imam Muhammad bin
Idris Assyafii
rahimahullah (Imam
Syafii)
Berkata Imam Syafii
bahwa bid’ah terbagi
dua, yaitu bid’ah
mahmudah (terpuji) dan
bid ’ah madzmumah
(tercela), maka yg
sejalan dengan sunnah
maka ia terpuji, dan yg
tidak selaras dengan
sunnah adalah tercela,
beliau berdalil dengan
ucapan Umar bin
Khattab ra mengenai
shalat tarawih : “inilah
sebaik baik bid’ah”.
(Tafsir Imam Qurtubiy juz
2 hal 86-87)
2. Al Imam Al Hafidh
Muhammad bin Ahmad
Al
Qurtubiy rahimahullah
“ Menanggapi ucapan ini
(ucapan Imam Syafii),
maka kukatakan (Imam
Qurtubi berkata) bahwa
makna hadits Nabi saw
yg berbunyi : “seburuk-
buruk permasalahan
adalah hal yg baru, dan
semua Bid ’ah adalah
dhalalah” (wa syarrul
umuuri muhdatsaatuha
wa kullu bid ’atin
dhalaalah), yg dimaksud
adalah hal-hal yg tidak
sejalan dengan Alqur ’an
dan Sunnah Rasul saw,
atau perbuatan Sahabat
radhiyallahu ‘anhum,
sungguh telah diperjelas
mengenai hal ini oleh
hadits lainnya :
“ Barangsiapa membuat
buat hal baru yg baik
dalam islam, maka
baginya pahalanya dan
pahala orang yg
mengikutinya dan tak
berkurang sedikitpun
dari pahalanya, dan
barangsiapa membuat
buat hal baru yg buruk
dalam islam, maka
baginya dosanya dan
dosa orang yg
mengikutinya” (Shahih
Muslim hadits no.1017)
dan hadits ini merupakan
inti penjelasan mengenai
bid ’ah yg baik dan bid’ah
yg sesat”. (Tafsir Imam
Qurtubiy juz 2 hal 87)
3. Al Muhaddits Al Hafidh
Al Imam Abu Zakariya
Yahya bin Syaraf
Annawawiy rahimahullah
(Imam Nawawi)
“ Penjelasan mengenai
hadits : “Barangsiapa
membuat-buat hal baru
yg baik dalam islam,
maka baginya pahalanya
dan pahala orang yg
mengikutinya dan tak
berkurang sedikitpun
dari pahalanya, dan
barangsiapa membuat
buat hal baru yg
dosanya ”, hadits ini
merupakan anjuran
untuk membuat
kebiasaan kebiasaan yg
baik, dan ancaman untuk
membuat kebiasaan yg
buruk, dan pada hadits
ini terdapat
pengecualian dari sabda
beliau saw : “semua yg
baru adalah Bid’ah, dan
semua yg Bid’ah adalah
sesat”, sungguh yg
dimaksudkan adalah hal
baru yg buruk dan Bid ’ah
yg tercela”. (Syarh
Annawawi ‘ala Shahih
Muslim juz 7 hal 104-105)
Dan berkata pula Imam
Nawawi bahwa Ulama
membagi bid ’ah menjadi
5, yaitu Bid’ah yg wajib,
Bid’ah yg mandub, bid’ah
yg mubah, bid’ah yg
makruh dan bid’ah yg
haram. Bid’ah yg wajib
contohnya adalah
mencantumkan dalil-dalil
pada ucapan ucapan yg
menentang
kemungkaran, contoh
bid ’ah yg mandub
(mendapat pahala bila
dilakukan dan tak
mendapat dosa bila
ditinggalkan) adalah
membuat buku buku ilmu
syariah, membangun
majelis taklim dan
pesantren, dan Bid;ah yg
Mubah adalah
bermacam-macam dari
jenis makanan, dan
Bid ’ah makruh dan
haram sudah jelas
diketahui, demikianlah
makna pengecualian dan
kekhususan dari makna
yg umum, sebagaimana
ucapan Umar ra atas
jamaah tarawih bahwa
inilah sebaik2 bid ’ah”.
(Syarh Imam Nawawi ala
shahih Muslim Juz 6 hal
154-155)
4. Al Hafidh AL
Muhaddits Al Imam
Jalaluddin Abdurrahman
Assuyuthiy rahimahullah
Mengenai hadits “Bid’ah
Dhalalah” ini bermakna
“Aammun makhsush”,
(sesuatu yg umum yg
ada
pengecualiannya),
seperti firman Allah : “…
yg Menghancurkan
segala sesuatu ” (QS Al
Ahqaf 25) dan
kenyataannya tidak
segalanya hancur, (*atau
pula ayat : “Sungguh
telah kupastikan
ketentuanku untuk
memenuhi jahannam
dengan jin dan manusia
keseluruhannya ” QS
Assajdah-13), dan pada
kenyataannya bukan
semua manusia masuk
neraka, tapi ayat itu
bukan bermakna
keseluruhan tapi
bermakna seluruh
musyrikin dan orang
dhalim.pen) atau hadits :
“ aku dan hari kiamat
bagaikan kedua jari
ini ” (dan kenyataannya
kiamat masih ribuan
tahun setelah wafatnya
Rasul saw) (Syarh
Assuyuthiy Juz 3 hal 189).
Maka bila muncul
pemahaman di akhir
zaman yg bertentangan
dengan pemahaman para
Muhaddits maka
mestilah kita berhati-
hati darimanakah ilmu
mereka?, berdasarkan
apa pemahaman
mereka?, atau seorang
yg disebut imam padahal
ia tak mencapai derajat
hafidh atau muhaddits?,
atau hanya ucapan orang
yg tak punya sanad,
hanya menukil-menukil
hadits dan mentakwilkan
semaunya tanpa
memperdulikan fatwa-
fatwa para Imam?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar