Minggu, 26 Desember 2010

UNTUK MENDAPAT GELAR AL-HAFIDH APAKAH HARUS MENGHAFAL HADITS JUGA.??

Orang yg mahir membaca
Al-Qur ’an maka pada hari
kiamat akan di
kumpulkan bersama
rombongan malaikat yg
mulia. Sedangkan bagi
orang yg terbata-bata
dalam membacanya akan
mendapatkan dua pahala
yaitu pahala dia
membaca Al-Qur ’an dan
pahala kesungguhan
dalam membacanya dgn
baik dan benar.Al-Qur ’an
akan datang pada hari
kiamat sebagai pemberi
syafa ’at bagi orang yg
membacanya dan
mengamalkannya.
Bahkan Al-Qur ’an akan
menjadi pelindung
baginya dari adzab Allah
Ta ’ala di dunia maupun
akhirat. Sehingga di
katakan orang yg
mempelajari Al-Qur ’an
akan mengamalkannya
sebagai sebaik-baik
manusia krn Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda :“Sebaik-
baik orang di antara
kalian adl orang yg
mempelajari Al-Qur ’an
dan
mengajarkannya.” .Tetapi
kebaikan keutamaan dan
pahala tersebut tidak
dapat di rasakan kecuali
orang-orang yg diberi
taufik dan hidayah Allah
Ta ’ala agar mau beriman
kepadanya membaca
mempelajarinya dan
mampu
mengaplikasikannya.
Adapun orang yg ingkar
terhadapnya tidak mau
beriman kepadanya tidak
mau membaca maupun
mempelajarinya apalagi
mengamalkannya maka
sekali-kali dia tidak akan
merasakan manfaat
sedikitpun. Bahkan Al-
Qur ’an akan menjadi
sebab di hinakan dan di
sesatkannya orang
tersebut dan akan
menjadi hujjah di
hadapan Allah Ta ’ala utk
menyiksakan pada hari
kiamat.
Al-hadits didefinisikan
oleh pada umumnya
ulama --seperti definisi
Al-Sunnah-- sebagai
"Segala sesuatu yang
dinisbahkan kepada
Muhammad saw., baik
ucapan, perbuatan dan
taqrir (ketetapan),
maupun sifat fisik dan
psikis, baik sebelum
beliau menjadi nabi
maupun sesudahnya."
Ulama ushul fiqh,
membatasi pengertian
hadis hanya pada
"ucapan-ucapan Nabi
Muhammad saw. yang
berkaitan dengan
hukum"; sedangkan bila
mencakup pula
perbuatan dan taqrir
beliau yang berkaitan
dengan hukum,maka
ketiga hal ini mereka
namai Al-Sunnah.
Pengertian hadis seperti
yang dikemukakan oleh
ulama ushul tersebut,
dapat dikatakan sebagai
bagian dari wahyu Allah
SWT yang tidak berbeda
dari segi kewajiban
menaatinya dengan
ketetapan-ketetapan
hukum yang bersumber
dari wahyu
Al-Quran.
bagus kalau anda mau
menghapal al-qur'an .
tapi yang terpenting
adalah mengamalkan
alqur'an dan hadist.
untuk melaksanakan
kehidupan sehari-hari.
Gelar kemasyarakatan
Gelar ini pun bermacam-
macam, sebagai contoh
Gus, Haji, Raden, Ustadz,
Kyai, Syaikh, Ajengan,
Tuan Guru, Tengku,
al-‘Âlim, al-‘Allâmah, al-
Fâdhil, al-Faqîh, al-Hâfizh
dan sebagainya.
Apakah kita
mencantumkan gelar
sebagai informasi bagi
orang lain bahwa kita
dapat
mempertanggungjawabkan
semua tulisan atau
perkataan kita?
Ataukah kita
mencantumkan gelar
agar orang lain tahu
bahwa kita pintar,
canggih dan hebat? Agar
orang lain mengerti
bahwa status dan strata
sosial kita begitu tinggi?
Agar orang lain tidak
menganggap kita remeh
dan sekaligus harus
menghormati kita?
Bukankah kita tak 'kan
pernah melupakan sabda
Nabi Muhammad saw.
yang begitu sering
dituturkan?
Sesungguhnya segala
amal itu tergantung dari
niatnya dan
sesungguhnya seseorang
akan mendapatkan hasil
sesuai dengan apa yang
diniatkannya. (Muttafaq
‘alayh)
KH. Muchit Murtadlo
(Surabaya) dan KH.
Masrihan (Mojokerto)
pernah menasihatkan
bahwa seorang kyai tidak
boleh menggunakan ke-
kyai-annya untuk
kepentingan duniawi
(pribadi). Misal, seorang
kyai berkata kepada
santrinya, “Tolong
belikan nasi goreng, ya
nak … Bilang saja Pak
Kyai yang pesan, biar
tidak perlu antri …”
Perintah tersebut tak
elok didengar, apalagi
dilaksanakan. Seorang
kyai tak selayaknya
menyuruh santri berbuat
demikian, walaupun bagi
sebagian orang hal ini
termasuk kategori wajar
dan lumrah. Kenapa?
Karena kita seharusnya
tidak memandang diri
kita tinggi, apalagi minta
diperlakukan lebih.jadi
jangan menhafal alqur'an
agar di sebut alhafiz.
wallohu'alam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar